OLEH :
Oleh Yusuf Al-Qardhawi Al-Asyi
SEMBILAN tahun silam, tepatnya 15 Agustus 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menetapkan sebuah kesepakatan politik yang menentukan bagi masa depan Aceh yang tak asing lagi didengar, yaitu Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Proses terwujudnya MoU Helsinki telah dirintis sejak tahun 2000 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Proses perundingan soft power yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC) itu melahirkan Jeda Kemanusiaan I dan II (Joint Understanding on Humanitarian Pause For Aceh), serta Moratorium Konflik yang ditandatangani pada 12 Mei 2000 di Jenewa, Swiss. Jeda Kemanusiaan ini berakhir 15 Januari 2001 dengan tidak menghasilkan kemajuan apapun, bahkan keamanan Aceh semakin tidak stabil(Sumaryo Suryokusumo, 2007:128).