OLEH :
Oleh Yusuf Al-Qardhawi Al-Asyi
SEMBILAN tahun silam, tepatnya 15 Agustus 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menetapkan sebuah kesepakatan politik yang menentukan bagi masa depan Aceh yang tak asing lagi didengar, yaitu Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Proses terwujudnya MoU Helsinki telah dirintis sejak tahun 2000 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Proses perundingan soft power yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC) itu melahirkan Jeda Kemanusiaan I dan II (Joint Understanding on Humanitarian Pause For Aceh), serta Moratorium Konflik yang ditandatangani pada 12 Mei 2000 di Jenewa, Swiss. Jeda Kemanusiaan ini berakhir 15 Januari 2001 dengan tidak menghasilkan kemajuan apapun, bahkan keamanan Aceh semakin tidak stabil(Sumaryo Suryokusumo, 2007:128).
Selanjutnya, pada 9 Desember 2002, diadakan perundingan CoHA(Cessation of Hostilities Agreement) atau Perjanjian Penghentian Permusuhan di Jenewa, Swiss. Perundingan yang juga difasilitasi HDC ini mendapat dukungan dari banyak negara, seperti Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Thailand, Denmark, Prancis, Australia, Qatar, Malaysia, Inggris, Pilipina, dan Swedia. Bahkan, delegasi negara-negara tersebut mengadakan Konferensi Internasional pada 3 Desember 2002 dalam rangka membantu pembangunan kembali Aceh. Turut hadir juga dalam konferensi tersebut perwakilan Uni Eropa, Asia Development Bank (ADB), World Bank, UNDP, dan pihak HDC sendiri(Qardhawy, 2014:176).
Pada perundingan 9 Desember 2002, para pihak menyepakati beberapa poin penting untuk menghentikan konflik di Aceh. Kedua belah pihak sepakat untuk tidak meningkatkan intensitas militer, kemudian mendukung proses dialog inklusif yang difasilitasi oleh HDC, dan membentuk JSC (Joint Security Council) yang anggotanya terdiri atas perwira senior TNI mewakili Pemerintah Indonesia, pejabat GAM, dan pihak ketiga yang ditunjuk oleh kedua belah pihak.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan konflik, namun gagal menciptakan kondisi kondusif secara signifikan di Aceh, bahkan pihak HDC mengundang kedua belah pihak untuk berunding di Tokyo yang digelar pada 17 Mei 2003. Pemerintah RI mengajukan tiga syarat perundingan, yaitu GAM mengakui NKRI, menerima otonomi khusus sesuai UU No.18/2001, dan meletakkan senjata. Namun pihak GAM menolak, akhirnya Presiden Megawati Soekarnoputri membatalkan perundingan tersebut dan mengeluarkan kebijakan menerapkan operasi militer di Aceh pada 19 Mei 2003 (Darmansjah Djumala, 2013:134).
Selama satu tahun penerapan darurat militer di Aceh tidak mampu menghentikan perlawanan GAM, meskipun sebanyak 1.963 pasukan GAM telah tewas dan 1.276 pucuk senjata dari berbagai jenis disita (KontraS, 2006:122). Namun Pemerintah tidak berhasil juga menumpas pasukan GAM, lalu mulai 19 Mei 2004 memperpanjang kembali status Darurat Sipil di Aceh, hingga terjadinya bencana dahsyat gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004.
Melihat kondisi Aceh dalam bencana besar dan ratusan ribu masyarakat menjadi korban, ditambah desakan dari berbagai pihak, akhirnya Pemerintah RI sepakat untuk menghentikan konflik Aceh yang telah berlangsung sejak 1976. Perundingan kali ini dimediasi oleh CMI(Crisis Management Initiative) pimpinan Martti Ahtisaari. Perundingan ini melahirkan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, dimana kedua belah pihak sepakat menghentikan pertikaian permanen dan menyelesaikan konflik Aceh dengan damai.
Kekuatan MoU Helsinki
Satu sumber utama hukum internasional dan telah menjadi prinsip hukum umum (general principles of law) adalah perjanjian, yang mengikat para pihak. Pasal 26 Konvensi Wina 1969 menyebutkan: “Tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikat baik (in good faith)”. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina pada pada era Presiden BJ Habibie tahun 2000.
UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyebutkan, setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Dalam pembahasan penyusunan Konvensi Wina 1969, Komisi Hukum Internasional (The International Law Commision) tidak menentukan sebuah perjanjian internasional berdasarkan nomenklatur-nya, akan tetapi ditentukan oleh materi dan kesepakatan para pihak. Hingga kini belum ada kata sepakat di kalangan pakar hukum internasional terhadap pemakaiannomenklatur tersebut, namun yang lebih penting dari suatu perjanjian adalah bukan nomenklaturnya, tetapi komitmen, materi dan itikat baik para pihak.
Konvensi Wina dan yurisprudensi tidak menempatkan nomenklaturdokumen perjanjian sebagai faktor penentu karena hal tersebut bersifat dinamis dan variatif. Meskipun pemakaian nomenklatur perjanjian tertentu seringkali menunjukkan materi perjanjian memiliki bobot yang berbeda tingkatannya (Damos Dumoli Agusman, 2010:36-37). Oleh karena itu, para pihak boleh saja menggunakan nomenklatur tertentu dalam sebuah perjanjian internasional, namun harus memenuhi beberapa unsur: kata sepakat, subjek-subjek hukum, bentuknya tertulis, objek tertentu, dan tunduk pada hukum internasional (I Wayan Parthiana, 2002:14).
Satu keuntungan menggunakan nomenklatur MoU adalah tidak diperlukan ratifikasi lagi dan tidak memerlukan adanya perjanjian induk serta bisa menimbulkan akibat hukum, yakni terikat dengan apa yang disepakati (Dedi Supriyadi, 2013:54). Dalam praktik di Indonesia, penggunaan nomenklatur MoU dalam sebuah perjanjian bersifat politis untuk menghindari penggunaan agreement yang dinilai dianggap lebih formal dan mengikat (Dumos Dumoli Agusman, 2010:37). Selanjutnya dijelaskna, parameter utama sebuah perjanjian dapat dikatagorikan sebagai sebuah perjanjian internasional adalah: (1) perjanjian tersebut harus berkarakter internasional; (2) perjanjian tersebut haris dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional termasuk subjek hukum internasional lainnya; dan (3) perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional. Kemudian suatu perjanjian internasional harus memiliki pola struktur perjanjian internasional pada umumnya, seperti: (1) judul (nomenklatur); (2) preamble (tujuan perjanjian); (3) klausula substantif; (4) klausula formal; (5) pembuktian formal; dan (6) tanda tangan delegasi (Damos Dumoli Agusman, 2010:20)
Dalam MoU Helsinki terdapat klausula substantif (dispositive provisions) mengenai penyelenggara pemerintah di Aceh, hak asasi manusia, pengaturan keamanan, pembentukan misi monitoring, dan penyelesaian perselisihan. Dalam MoU Helsinki juga menyebutkan klausula formal atau klausula final (klausula protokoler), yaitu: (1) adanya penjadwalan waktu penandatangan MoU, yaitu pada 15 Agustus 2005; (2) MoU Helsinki dibuat berdasarkan konsep hukum perjanjian internasional, yakni Konvensi Wina 1969; (3) pemerintah RI dan GAM mewakili subjek hukum masing-masing; (4) poin-poin MoU Helsinki dapat berlaku dengan baik dan tidak memiliki hambatan signifikan; (5) meskipun MoU Helsinki hanya diwakili dan ditandatangani oleh dua orang saja yang mewakili subjek hukum masing-masing, namun masyarakat Indonesia dan masyarakat Aceh mematuhi nota kesepahaman tersebut; (6) klasul MoU Helsinki menggunakan bahasa resmi dunia internasional, yaitu bahasa Inggris; (7) dengan penandatangan MoU Helsinki, konflik di Aceh telah berhenti.
Selanjutnya pembuktian formal, yaitu pengakuan atau pembenaran terhadap penanda-tanganan perjanjian internasional. Bagian inilah yang memuat hal-hal yang bersifat testimonium. Selain itu juga dimuat tanggal dan tempat penandatanganan perjanjian internasional. Pada akhir seluruh klausul kesepakatan, para pihak mewakili subjek hukum masing-masing menandatangi perjanjian tersebut tanpa intimidasi dan tekanan dari pihak manapun. Pengertian perjanjian internasional berdasarkan Konvensi Wina, setidaknya harus memiliki unsur-unsur: (1) melibatkan dua negara atau dua subjek hukum (2) harus ditandatangi oleh kedua belah pihak; (3) dalam bentuk tertulis; (4) diatur oleh hukum internasional; dan (5) dibuat dalam satu atau dua instrumen.
Berdasarkan karakter dan premis di atas jelas bahwa MoU Helsinki termasuk dalam perjanjian internasional. Perjanjian dilakukan oleh dua subjek hukum internasional, yaitu Pemerintah RI-GAM, dibuat dalam bentuk dan nama MoU. Kemudian perjanjian tersebut mengacu kepada hukum internasional dan dibuat secara tertulis serta ditandatangani oleh masing-masing delegasi resmi, yaitu Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah RI dan Malik Mahmud mewakili GAM. Semoga perdamaian yang kini telah beryusia 9 tahun dapat terus lestari sepanjang masa, dan para pihak tidak melanggar satu pun klausul yang telah disepakati. Semoga!
Yusuf Al-Qardhawy Al-Asyi, S.HI., M.H., Penulis buku “Status Aceh dalam NKRI Pasca MoU Helsinki Menurut Hukum Internasional. Email: thebeeislam@ymail.com
0 comments:
Post a Comment