Gambar Spanduk Yang Menuliskan REFERENDUM.(Google Image)
ACEH LON SAYANG, ACEH LON MALANG. Begitulah suasana kehidupan di Aceh pasca pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM), pada 7 Agustus 1998. Harapan akan bisa menjalani kehidupan yang normal, tanpa takut terhadap aksi-aksi kekerasan, penculikan, maupun pembunuhan yang sempat terbersit di benak setiap orang Aceh hanya menjadi impian semu belaka. Penculikan dan pembunuhan secara misterius masih tetap terjadi. Bahkan tidak lama setelah itu, Baharuddin Jusuf Habibie, selaku Presiden Republik Indonesia saat itu, kembali meneruskan luka Aceh dari pendahulunya Mantan Presiden Soeharto. Penerapan operasi militer baru yang diberi nama “Operasi Wibawa” diterapkan lagi pada awal Januari 1999.
Kondisi Aceh yang semakin lama semakin tidak menentu ini membuat gerakan sipil dan tokoh masyarakat Aceh mulai meningkatkan perlawanannya. Berbagai aksi demonstrasi serta sumbangsih pemikiran untuk memberikan berbagai solusi politik sebagai upaya kompromi dengan pemerintah pusat pun dilakukan.
Puncaknya terjadi saat mahasiswa dan pemuda Aceh menggelar kongres perdananya. Kongres itu diberi nama Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS). 104 lembaga Mahasiswa, santri, pemuda, pelajar, district organization, pressure groups, dan lembaga solidaritas masyarakat Aceh yang ada di seluruh Aceh, luar Aceh, bahkan di luar negeri mengikuti kongres tersebut.
Kondisi Aceh yang semakin lama semakin tidak menentu ini membuat gerakan sipil dan tokoh masyarakat Aceh mulai meningkatkan perlawanannya. Berbagai aksi demonstrasi serta sumbangsih pemikiran untuk memberikan berbagai solusi politik sebagai upaya kompromi dengan pemerintah pusat pun dilakukan.
Puncaknya terjadi saat mahasiswa dan pemuda Aceh menggelar kongres perdananya. Kongres itu diberi nama Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS). 104 lembaga Mahasiswa, santri, pemuda, pelajar, district organization, pressure groups, dan lembaga solidaritas masyarakat Aceh yang ada di seluruh Aceh, luar Aceh, bahkan di luar negeri mengikuti kongres tersebut.
”Kita berkumpul untuk mencari format penyelesaian permasalahan Aceh yang telah berlarut-larut dan telah memakan korban yang sangat banyak,” ujar Said Fadhil, Mahasiswa Universitas Pasundan (Unpas) angkatan tahun 1998. Ia salah satu utusan perwakilan dari Komite Mahasiswa Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN), salah satu organisasi mahasiswa yang dibentuk pada akhir 1997, disaat gerakan-gerakan reformasi mulai dibangun di Indonesia. Keanggotaan KMPAN pada waktu itu adalah mahasiswa-mahasiswa Aceh yang berada di pulau Jawa plus Sumatera (Jakarta, Bandung, Bogor, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Madang, dan Medan).
Dalam perjalanannya KMPAN kemudian bekerja sama dengan organisasi yang bersifat koalisi di Aceh, yang disebut dengan Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA) yang dikordinatori Islamuddin. Dua organisasi mahasiswa ini yang menggagas pertemuan KOMPAS berlangsung.
31 Januari 1999, KOMPAS akhirnya resmi digelar. Bertempat di Gedung Sosial, Banda Aceh. Kongres yang berlangsung selama empat hari ini berlangsung alot. Sekitar 386 peserta yang hadir, ‘berjuang’ memberikan pemikiran-pemikirannya guna mengakhiri konflik di Aceh.
“Dari kongres tersebut, satu delegasi memilih otonomi seluas-luasnya, 3 memilih federasi, 23 memilih pisah lansung dari RI dan selebihnya memilih Referendum untuk kemerdekaan Aceh secara damai, yuridis dan demokratis,” ujar Tarmizi, salah seorang angota presidium SIRA.
Hasilnya dua rekomendasi penting pun disepakati. Yang pertama memilih referéndum dengan opsi merdeka dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai satu-satunya solusi adil, damai, dan demokratis, serta sebagai jalan tengah untuk penyelesaian kasus Aceh secara menyeluruh. Dan yang kedua adalah, Mendirikan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebagai lembaga independen yang bertugas mengorganisir informasi dan memperjuangkan nasib bangsa Aceh melalui referendum. Kongres tersebut juga memilih Muhammad Nazar, yang saat itu mewakili Gerakan Intelektual Seluruh Aceh (GISA), sebagai ketua dewan presidium SIRA.
”Jadi memang SIRA itu awalnya hanya lembaga cair untuk memfasilitasi presidium-presidium keanggotaan dari semua peserta kongres untuk menindaklanjuti aspirasi referéndum,” terang Said Fadhil.
Dalam hitungan hari setelah kongres berakhir, SIRA langsung menjalankan tugasnya. Berbagai sosialisasi, investigasi dan kampanye mulai dilakukan, baik pada tingkat lokal, nasional, bahkan internasional melalui jaringan-jaringannya yang ada di luar negeri, termasuk membangun jaringan dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Diakui atau tidak, suksesnya referéndum tidak terlepas dari dukungan pihak GAM sendiri,” Kata Muhammad Taufik Abda, ketua panitia KOMPAS, yang juga menjabat sebagai anggota dewan presidium SIRA.
“Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang lebih terbuka seperti aksi demonstrasi dan segala macamnya pada waktu itu juga membuat isu referendum lebih cepat tersampaikan kepada masyarakat,” tambah Said Fadhil.
Hasilnya, pada September 1999, SIRA berhasil menggelar berbagai aksi sipil secara terbuka yang diikuti puluhan ribu warga di setiap daerah Kabupaten/Kota di Aceh. Aksi-aksi ini dikordinir langsung oleh anggota-anggota dan jaringan-jaringan SIRA yang telah mengikuti kongres. Keberhasilan awal itu, kembali ditindaklanjuti SIRA pada 28 Oktober 1999. Bertempat di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) tingkat I Aceh, SIRA kembali menggelar aksi massa yang diikuti sekitar 150.000 warga sipil yang berdatangan dari berbagai daerah, khususnya Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang. Aksi itu diberi nama “Sumpah Bangsa Aceh”. Acara ini menghasilkan petisi dan komitmen untuk terus memperjuangkan referendum. Para peserta aksi juga memberikan mandat Kepada SIRA untuk mengorgansasi perjuangan self-determination pada tingkat lokal, nasional, dan internasional.
PERJUANGAN DAN KERJA KERAS SIRA AKHIRNYA TERBAYAR DENGAN SEBUAH SEJARAH pada 8 November 1999. Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, mendapat kehormatan sebagai saksi bisu sebuah acara kolosal yang ‘berlabel’ Sidang Umum Masyarakat Pejuang referendum (SU-MPR). Seluruh aktivitas perkantoran pemerintah/swasta, sekolah, perbankan, perdagangan berhenti total selama perhelatan akbar tersebut berlangsung. Hari itu, sekitar 1,5 juta rakyat Aceh bersatu untuk mendapatkan hak menentukan nasib mereka sendiri, dengan cara referendum. “Seumur hidup saya tak pernah melihat orang sebanyak ini,” kata M Kasim (45) yang mengaku datang dari Kabupaten Aceh timar, kepada Serambi Indonesia.
Massa yang umumnya menggunakan ikat kepala bertuliskan “Referendum” ini benar-benar larut dan histeris. Pekikan Allahu Akbar, alunan Shalawat Nabi, hikayat Prang Sabi, ataupun zikir, sebentar-bentar bergema yang dipandu sejumlah tokoh referendum dari mimbar, Akmal Aksal (pemandu acara), Muhammad Nazar (SIRA), Faisal Ridha (ketua panitia), Tgk Nuruzzahri (ulama), Tgk Bulqaini (pimpinan Thaliban), Fajri M Kasim (mahasiswa), Cut Nurasikin (tokoh wanita), maupun Muhammad Yus dan Nasir Jamil (pimpinan DPRD Aceh).
“Saya tantang dengan teori mana pun terhadap pendapat yang menyatakan tuntutan referendum itu adalah separatis,” kata Muhammad Nazar, Koordinator Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang melaksanakan acara tersebut kepada Kompas.
“Sudah 54 tahun kita bersama Republik Indonesia. Sudah banyak janji-janji tanpa bukti yang kita terima. Telah banyak wanita menjadi janda, anak-anak menjadi yatim karena suami dan ayah mereka menentang ketidakadilan Pemerintah Indonesia. Apakah yang kita tuntut hari ini salah? Apakah salah kita menuntut sebuah harga diri, martabat yang telah 54 tahun diinjak-injak?” teriak Almarhum Cut Nurasikin, tokoh perempuan Aceh. Ia kemudian wafat saat gelombang tsunami menghantam Aceh. Massa histeris menyambut orasi perempuan itu.
Perjuangan rakyat yang memadati halaman Masjid Baiturrahman, taman kota, sejumlah badan jalan di depan kiri-kanan Masjid, serta pelataran parkir sebuah plaza itu akhirnya tidak sia-sia. Untuk pertama kalinya di depan massa, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh beserta DPRD mendukung sepenuhnya pelaksanaan referendum.
“Pemda bersama DPRD tak mau menerima hukuman sosial dari rakyat. Lihatlah jumlah rakyat yang histeris meneriakkan tuntutan itu. Apakah kami harus tutup mata dan telinga?” tutur Ketua Sementara DPRD I Aceh M Nasir Djamil yang saat ini menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) kepada Kompas.
Nasir Djamil juga membacakan empat poin pernyataan DPRD dan Pemda Aceh di depan massa. Pernyataan itu ditandatangani Nasir Djamil, Teungku Muhammad Yus, dan Wakil Gubernur Bustari Mansur. Gubernur Sjamsuddin Mahmud sedang berada di Jakarta sehingga belum dapat menandatangani pernyataan tersebut.
Pernyataan itu mengakui, tuntutan dan perjuangan untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Aceh melalui sebuah referendum damai dan demokratis merupakan tuntutan dan perjuangan rakyat Aceh secara keseluruhan, serta mesti ditanggapi secara positif oleh semua pihak di tingkat nasional dan internasional.
Dalam poin selanjutnya, mereka berjanji memperjuangkan terwujudnya pelaksanaan referendum di Aceh secara transparan, damai, dan demokratis.
Pada poin lain juga disebutkan tentang penolakan terhadap segala bentuk militerisme di Aceh. Terakhir, pernyataan itu juga menyebut siapnya para penandatangan pernyataan untuk menerima hukuman sosial dari rakyat Aceh bila mereka ingkar pada janjinya.
PERSOALAN INTERNAL MULAI MUNCUL DI TUBUH SIRA justru sesaat setelah SU-MPR berhasil mereka gelar dengan baik. Awal mula persoalan itu muncul ketika SIRA menggelar KOMPAS ke dua pada 20 sampai 23 Februari 2000. kongres itu digelar untuk mengevaluasi kinerja dan menentukan mekanisme kerja SIRA kedepan. Dalam kongres tersebut, organisasi Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh-Jakarta (IMAPA), menganggap SIRA sangat tidak demokratis dalam setiap pengambilan keputusan didalam kongres. ”Mereka menggunakan praktek memaksakan kehendak, yang mereka anggap itu kehendak orang banyak. Padahal orang yang banyak itu kan adalah orang yang belum menentukan sikapnya,” ujar Fajran Zain, salah satu perwakilan IMAPA.
Fajran menambahkan, belum adanya suatu jawaban yang pasti mengenai transparansi keuangan dan juga agenda pertanggungjawaban, termasuk pertanggung jawaban mengenai kampanye yang selama ini telah dilakukan SIRA, semakin menambah kekecewaan IMAPA. ”Oleh sebab itulah kami perwakilan dari Jakarta memilih walk out dari kongres, dan menyatakan tidak bertanggung jawab apapun lagi terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh SIRA,”
Langkah IMAPA, diikuti juga oleh tiga organisasi peserta kongres lainnya. Yakni, Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), Forum Darussalam (FORDAS), serta Ikatan Remaja Muhammadiyah. ”Itu kan menggambarkan bahwa prosesnya sudah tidak sehat, dan agenda kampanyenya juga tidak jelas,” kata Fajran.
”Lucunya, SIRA waktu itu sangat membenci pemikiran-pemikiran yang mereka anggap pro otonomi. Dalam bahasa mereka bahwa, hari ini kita harus berteman dengan teman-teman yang pro kemerdekaan atau yang pro referendum. Yang pro otonomi seperti Jakarta mereka tidak pakai. Harusnya kelompok-kelompok yang berseberangan pendapat itu mereka rangkul bukan malah disingkirkan. Banyak juga lembaga yang tidak setuju dengan kebijakan SIRA pada waktu itu, tapi mereka tidak punya pilihan, kalau tidak mereka akan disingkirkan,” kata Fajran. IMAPA memang dikenal sebagai salah satu organisasi yang vokal menyuarakan opsi otonomi khusus, pada KOMPAS pertama dan kedua.
Taufik Abda tidak mengelak. Namun ia menyesalkan keputusan pengunduran diri empat organisasi tersebut yang dinilainya terlalu terburu-buru menghadapi gejolak dinamika yang terjadi di SIRA. ”Kita semuanya mempunyai tanggung jawab masing-masing. kalau memang belum ada mekanisme dan aturannya, kita bikin. Kalau tidak bisa secara umum, bisa secara khusus. Tidak bisa pada level yang berlaku melalui kongres, paling kurang dibuat melalui sidang umum tahunan SIRA. Ini kan hanya persoalan perbedaan persepsi masing-masing saja. Jadi jangan malah mengundurkan diri karena menilai SIRA tidak jelas. Jadi tanggung jawab sesudah SU MPR itu bagaimana?,”
”Jadi menurut anda apa yang dilakukan SIRA ini sudah benar?,” tanya saya kepada Taufik.
”Walaupun kemudian setelah evaluasi tidak benar, tapi di dalam teksnya, itu tidak ada teks yang dilanggar dikarenakan tidak ada aturan main yang diatur secara ketat. Ketika anda lihat kok jadi seperti ini. Karena dari awal kita tidak punya rencana. Tidak ada yang membayangkan SIRA akan besar seperti ini,” katanya.
Sesal kemudian tak ada gunanya. Belajar dari kesalahan itu, SIRA pun mulai berbenah. Segala perbaikan di setiap lini mulai dilakukan. Badan Pengawas pun dibentuk pada KOMPAS II. Badan ini ditugaskan untuk mengevaluasi dan mengontrol kinerja SIRA. Tidak hanya itu, Aturan hukum dan kode etik dalam berorganisasi secara tertulis yang dulunya terlupakan, kembali disusun pada sidang umum tahunan yang diikuti oleh anggota SIRA setempat. Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD RT) juga mulai disusun.
”Kita akui SIRA pernah membuat kesalahan, karena kita yang ada di SIRA tidak mampu mengelola SIRA dengan baik. Belajar dari kesalahan itulah, teman-teman di SIRA mulai mengatur yang namanya aturan dalam hukum, kode etik, dan juga AD RT. Karena kalau hal-hal tersebut tidak dimiliki oleh sebuah organisasi, pasti akan bertubrukan. Karena akan main di level persepsi,” kata Taufik.
Perlahan tapi pasti, SIRA mulai berubah menjadi lebih baik. Struktur organisasinya menjadi lebih jelas. Nama SIRA pun semakin lekat di hati masyarakat Aceh.
PERJUANGAN MENUNTUT REFERENDUM MEMANG TIDAK MUDAH, bahkan harus dibayar dengan nyawa. Seiring dengan meningkatnya intensitas konflik bersenjata antara pihak militer Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang menyebabkan ratusan warga sipil meninggal saat itu, dibalas dengan perlawanan rakyat yang ingin segera mengakhiri penderitaannya akibat konflik.
Protes dan aksi demonstrasi meletus di berbagai tempat, termasuk tragedi berdarah pada bulan November 2000. Saat itu ratusan ribu warga Aceh yang ingin menghadiri pelaksanaan Sidang Raya Rakyat Aceh untuk Kedamaian (Sira-Rakan) di Banda Aceh, ditahan aparat kemanan. Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) perwakilan Aceh melansir, pada periode tanggal 7-11 November, 30 orang meninggal dunia, dan 62 orang lainnya mengalami luka-luka akibat penghadangan disertai tindak kekerasan yang dilakukan aparat.
Saya mendengar banyak cerita tentang kejadian itu. Salah satunya dari Agus Mirlan, warga sipil yang mengikuti aksi tersebut. Hari itu Kamis, 9 November 2000, Pukul sembilan pagi Agus bersama sekitar 20 orang lainnya berangkat dari Bireun menuju Banda Aceh dengan menggunakan sebuah truk. Sesampainya di Ulee Gle sekitar pukul 12 siang, mereka ditahan oleh aparat Brigade Mobil (Brimob). Agus bersama ratusan ribu massa yang lain bertahan dan menginap semalam di lokasi. Dalam penghadangan itu ratusan ribu massa terlibat bentrokan dengan aparat kemanan. ”Saat bentrokan itu, aparat keamanan tidak menembakkan senjatanya ke arah atas, tapi ke arah masyarakat. Teman saya bernama Tgk. Hasan Basri juga dipukul belasan aparat hingga harus dirawat di Rumah Sakit,” tuturnya.
Majalah Gatra menyebutkan, akibat insiden di Ulee Gle tersebut, 12 warga sipil tertembak, dan seorang diantaranya bernama M. Yatim (56 tahun), dilaporkan meninggal dunia.
Perjuangan rakyat itu telah menumbuhkan kesadaran baru di dalam organisasi SIRA. ”Aksi itu semakin memperkuat tekad dan komitmen SIRA untuk terus memperjuangkan referendum,” ujar Faisal Ridha.
Namun tekad dan komitmen SIRA ini tidak dibarengi oleh keharmonisan di dalam struktur organisasinya sendiri. Pergolakan demi pergolakan kembali terjadi. Bahkan kali ini SIRA di anggap oleh beberapa anggotanya yang berada di luar Aceh ibarat ’kacang lupa akan kulitnya’. Anggapan itu muncul saat SIRA yang telah merasa mendapat mandat dari rakyat, memutuskan untuk mengadakan sidang umum tahunannya tanpa lagi mengundang organisasi peserta KOMPAS, yang notabene adalah organisasi pembentuk SIRA. Sidang umum itu hanya diikuti oleh konsulat SIRA yang ada di Aceh.
”Jadi SIRA tidak mengatakan lagi bahwa KOMPAS itu sebagai forum tertinggi organisasinya,” kata Said Fadhil.
Menurut Said, ketika SIRA telah mendapat legitimasi yang besar dari masyarakat Aceh, SIRA mulai mengalami pergeseran pandangan. Dari organisasi yang dulunya bersifat representatif berubah menjadi organisasi tunggal. Bahkan saat itu SIRA sudah memproklamasikan dirinya merupakan organisasi yang mandatnya dari rakyat. ”Jadi saat itu mereka Tidak lagi mau dikontrol dan tidak lagi merasa perlu melibatkan organisasi-organisasi pembentuknya,” ujarnya.
Menghadapi tuduhan ini, Taufik Abda mengakui saat ini hubungan SIRA dengan organisasi pembentuk adalah hubungan historis. Karena setelah KOMPAS II, SIRA mempunyai mekanisme tersendiri. ”Setelah KOMPAS II kan ada dewan pengawas. Oleh sebab itu hubungan SIRA dengan organisasi pembentuk lebih kepada hubungan personil, bukan lagi hubungan struktural,” ujarnya sambil menyeruput secangkir kopi yang ada ditangannya.
Lalu, mengapa SIRA memutuskan untuk berjalan sendiri,” tanya saya
”Karena badan pengawasnya tidak aktif. Mereka tidak pernah melakukan rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan, padahal mereka mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja SIRA, termasuk melakukan pertemuan reguler tahunan,” kata Taufik.
Pergolakan ini ternyata tak berlangsung lama. Dikarenakan anggota-anggota dari organisasi pembentuk SIRA yang berada di luar Aceh tidak terlalu menganggap serius permasalahan ini. ”Yang penting kita masih tetap menjadi satu sinergi dengan teman-teman di Aceh,” kata Said.
Said kemudian diangkat menjadi dewan presidium SIRA pada sidang tahunan SIRA di Jakarta, pada tahun 2002. Sebelumnya Said merupakan konsulat SIRA wilayah Bandung.
MELIHAT PERGOLAKAN-PERGOLAKAN RAKYAT yang terus terjadi saat itu, pemerintah pun tidak tinggal diam. Muhammad Nazar, yang menjabat sebagai Ketua Dewan Presidium SIRA ditahan pemerintah pada 20 November 2000. Nazar dituduh melanggar pasal 154, 155, 160 dan 161 KUHP, tentang pelanggaran mengganggu ketertiban umum.
Ikhwal tuduhan itu bermula saat SIRA berusaha mengelola keinginan rakyat untuk mengadakan suatu acara mogok massal pada 16-17 Agustus 2000. Pada acara itu beberapa spanduk yang bermakna ’Neokolonialis Indonesia’ terpampang di jalan-jalan. Pihak kepolisian menuduh SIRA ada dibalik pembuatan spanduk yang kesannya bisa menyebar fitnah dan konflik tersebut. Namun hal itu dibantah salah seorang anggota dewan presidum SIRA, Faisal Ridha. Menurutnya penangkapan Muhammad Nazar itu bertendensi politis, tidak fair, dan penuh kerancuan hukum.
”Seharusnya kalau Nazar melakukan pelanggaran terhadap ketertiban umum, kenapa baru satu minggu belakangan ini dipanggil, setelah Nazar menjabat sebagai komite organisasi SIRA RAKAN. Mengenai spanduk, yang menulis itu adalah rakyat. Cuma rakyat ada di spanduk itu,” ujarnya pada Radio Netherland.
Semula pemerintah berharap dengan ditangkapnya orang nomor satu di SIRA itu, dapat menjadi pukulan keras bagi anggota-anggota SIRA yang lain, serta melemahkan kekuatan SIRA itu sendiri. Tapi ternyata dugaan pemerintah tersebut salah. Kenyataannya, SIRA tetap berjalan. ”Penangkapan Nazar sama sekali tidak memperlemah kekuatan SIRA. Disamping karena komunikasi kami dengan Nazar tetap berjalan. Teman-teman diluar juga tetap aktif bekerja,” kata Faisal. Muhammad Nazar kemudian dibebaskan setelah sepuluh bulan mendekam di penjara.
Usaha pemerintah tidak berhenti sampai disitu. Muhammad Nazar yang setelah kebebasannya masih terus aktif memperjuangkan referendum untuk Aceh, kembali ditangkap pada 12 Februari 2003. ia dijemput paksa oleh aparat keamanan dari Polresta, Banda Aceh (Sekarang Poltabes) saat malam lebaran Idul Adha di rumahnya. Ia dituduh telah membuat keramaian tanpa izin dan melanggar UU No. 9/1998 tentang kemerdekaan menyatakan pendapat. Nazar bersama tahanan politik GAM lainnya kemudian dibuang ke Pulau Jawa, tepatnya di Penjara Lowokwaru, Malang, Jawa Timur, Saat Pemerintah Indonesia memberlakukan Darurat Militer (DM) di Aceh. Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonisnya 5 tahun penjara.
Penangkapan ini memunculkan protes di berbagai kalangan termasuk dari Mulyadi Goce. ”Penangkapan Nazar tidak dapat dibenarkan. Sebab Nazar waktu itu hanya merupakan penceramah dan bukan penyelenggara,” ujarnya kepada Kompas, terbitan Jumat, 14 Februari 2003.
”Penangkapan Nazar merupakan pelanggaran kesepakatan permusuhan antara pemerintah RI dan GAM yang memberikan jaminan kebebasan bagi masyarakat sipil menyampaikan aspirasi,” tambah Ketua SIRA Jakarta, Faisal Syaefuddin kepada Kompas.
Pasca penangkapan Nazar yang kedua kalinya ini, SIRA membentuk Ketua Pelaksana Harian (KPH), untuk memimpin SIRA saat Nazar tidak bisa aktif. KPH ini digilir setiap tiga bulan sekali kepada anggota-anggota dewan presidium SIRA. ”Nazar masih tetap menjadi Ketua Dewan Presidum SIRA, akan tetapi setelah Nazar ditangkap untuk yang kedua kali, kami membentuk KPH yang kami gilir setiap tiga bulan sekali,” kata Faisal.
Perjuangan itu menjadi lebih sulit ketika kekuatan militer semakin besar di Aceh dengan ditetapkannya Darurat Militer (DM) pada Mei 2003, oleh Presiden Indonesia saat itu, Megawati Soekarno Putri. Secara perlahan perlawanan para aktivis dan rakyat semakin meredup seiring masuknya ribuan tentara non-organik ke Aceh. Mereka sadar melakukan aksi demosntrasi yang terbuka saat militer menguasai Aceh sama saja menghantarkan nyawa.
Musliadi, salah seorang aktivis SIRA misalnya. Ia diculik di rumahnya pada bulan puasa, pada akhir November 2002. Ia kemudian ditemukan menjadi mayat di lembah Seulawah, Aceh Besar. Banyak pihak mensinyalir penculikan itu didalangi oleh pihak militer Indonesia.
Kondisi itu membuat SIRA memutuskan untuk memindahkan lokasi perjuangannya agar terus bisa beraktivitas. Pusat perjuangan yang sebelumnya di Aceh, dipindahkan ke Jakarta dan Medan. “Jadi disanalah SIRA dikontrol pada waktu itu, karena di Aceh tidak ada satupun gerakan demokrasi yang bisa bergerak, semuanya diredam oleh gerakan militer,” ujar Faisal.
SIRA tak menyerah, meski sang penguasa terus menancapkan taringya di bumi serambi mekkah. Berbagai aksi demonstrasi pun tetap dilakukan. Tidak bisa dilakukan di Aceh, di Jakarta pun jadi. Aksi itu diberi nama ‘Aceh perduli Aceh’ yang dikordinir SIRA pada akhir 2003.
Namun SIRA tidak sekuat dulu lagi saat pertama kali berdiri. Persoalan-persoalan internal yang terus menggerogoti tubuh organisasi ini telah membuat kekuatan di struktur organisasi SIRA berkurang. Hal itu diakui Taufik Abda, “Perubahan di dewan presidium lebih kepada persoalan pengunduran diri, persoalan kesabaran, dan persoalan persepsi terhadap dinamika yang terjadi di SIRA,”.
Langkah konsolidasi dan penyelamatan struktur SIRA pun mulai dilakukan. Masyarakat sipil bersama konsulat-konsulat SIRA yang ada di Aceh ditarik satu persatu untuk kemudian dilatih menjadi anggota SIRA. Proses pelatihan tersebut dilakukan di Medan. “Jadi SIRA pada waktu itu lebih memfokuskan terhadap penyelamatan struktur organisasi dan juga pemberdayaan daripada pengurus SIRA,” kata Faisal.
PERDAMAIAN YANG TELAH LAMA DINANTI AKHIRNYA TERWUJUD setelah penandatanganan perjanjian damai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Finlandia pada 15 Agustus 2005. Mendung yang menggelayuti Kota Banda Aceh sore itu seakan ikut merestui akhir dari sebuah kepedihan dan kesengsaraan rakyat Aceh akibat konflik selama puluhan tahun. Perjuangan penuh darah dan nyawa akhirnya terbalas dengan sebuah kata yang sangat mahal. Yaitu, perdamaian.
Butiran air mata spontan jatuh dari kelopak mata sebagian besar masyarakat Aceh, begitu perwakilan dari GAM, yang dipimpin Perdana Menteri-nya Malik Mahmud, dan Perwakilan RI, yang diketuai Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin menandatangani lembaran kertas putih. Di tengahnya, berdiri mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, Ketua Crisis Management Initiative (CMI), lembaga non-pemerintah yang memfasilitasi berlangsungnya perjanjian damai tersebut. Moment bersejarah itu disiarkan secara langsung oleh salah satu televisi swasta tepat pukul pukul 15.00 WIB atau pukul 11.00 waktu Helsinki, Finlandia.
Sekali lagi jutaan rakyat Aceh kembali bersorak. Namun kali ini bukan ’referendum’ atau ’merdeka Aceh’ yang mereka teriakkan, tapi ’damai’ yang diiringi sebuah niat tulus, semoga perdamaian berlangsung abadi di Aceh.
Kebebasan dalam ruang berpolitik yang sempat hilang saat konflik, kembali didapatkan rakyat Aceh. Salah satunya adalah kebebasan rakyat Aceh untuk membentuk partai politik lokal seperti dimandatkan dalam MoU Helsinki. Belasan partai lokal bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tak terkecuali SIRA.
NIAT AWAL MEMBENTUK PARTAI POLITIK LOKAL mulai diwacanakan pada Sidang Umum SIRA di Grong-Grong pada November 2005. Tujuan utama dilaksanakannya sidang tersebut guna membangun kembali SIRA, yang saat itu hanya tinggal segelintir orang saja, dikarenakan beberapa aktivis dan dewan presidium SIRA sudah banyak yang tidak aktif lagi.
Salah satunya Said Fadhil, anggota dewan presidium yang mengundurkan diri dari SIRA pada tahun 2005. ia memilih tidak lagi aktif di SIRA, karena telah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditempatkan di Jakarta.
Dalam sidang itu, SIRA mencoba membuat format struktur baru, yang dinamakan badan eksekutif SIRA. Badan itu dibentuk oleh dewan presidium SIRA. ”Karena banyaknya simpatisan SIRA yang ingin bergabung, serta beban tugas yang ditanggung SIRA bertambah besar, jadi kami membentuk satuan kerja yang dinamakan badan eksekutif,” jelas Faisal.
Melalui pemilihan langsung dari para peserta sidang. Nurzahri kemudian terpilih menjadi Ketua Badan Eksekutif SIRA yang pertama. Ia mengalahkan dua kandidat lain yaitu, Muhammad MTA dan Dawan Gayo. Padahal saat itu Nurzahri baru saja bergabung di SIRA. Nurzahri merupakan konsul SIRA di Bandung. Ia menjabat sebagai Ketua Ikatan Pemuda Aceh-Bandung. Selesai menamatkan kuliahnya di Institut Tekhnologi Bandung, jurusan Penerbangan pertengahan 2005, Nurzahri diajak oleh teman-teman untuk bergabung di SIRA. “Jadi pada prinsipnya saya adalah utusan baru dari presidium lama dari Bandung. Karena saat konflik semakin memanas hingga tahun 2005 sebelum MoU Helsinki ditandangani, SIRA praktis hanya tinggal sekitar 8 orang lagi,” katanya.
Pengembangan organisasi pun mulai dilakukan Nurzahri. Terobosan pertama yang dilakukannya adalah membentuk sel-sel SIRA, di setiap daerah-daerah yang banyak dikuasai oleh GAM.
“Jadi hampir semua daerah GAM itu kita buat sel SIRA, dengan cara meminta orang-orang kepercayaan dari GAM untuk menjadi konsul SIRA di wilayah. Dan saat itu SIRA masih mengusung tujuan yang sama, yaitu masih tetap memperjuangkan referendum. dan memang sudah mulai terwacana mengenai masalah pembentukan partai politik lokal. Namun itu masih sekedar wacana. Dan itu masih pro-kontra,” ujar Nurzahri.
Dan Nurzahri termasuk orang yang tidak sepakat jika SIRA menjadi sebuah partai politik lokal. Ada dua factor yang menyebabkan ia tidak sepakat. Yang pertama dikarenakan ada salah satu kesepahaman bersama di SIRA, bahwa ketika SIRA membentuk sel-sel di kantong GAM, itu ditujukan untuk mendukung intelektualitas para personil GAM yang saat itu masih banyak personilnya yang menggunakan pola-pola militer dalam menyelesaikan masalah.
Factor yang kedua, disebabkan dengan mendirikan sebuah partai lagi di dalam garis perjuangan, akan menyebabkan perpecahan di tingkat lapangan yang bisa berefek buruk terhadap GAM sendiri. Ia mencotohkan,
“Jadi, dengan mendirikan sebuah partai di jalur yang sama dengan GAM, itu sebenarnya menghancurkan GAM sendiri dan melemahkan nilai tawar Aceh di mata pusat. Karena kita tahu GAM bukan berorientasi kepada politik. Kalau memang dari dulu tujuan GAM hanya gubernur atau ingin duduk sebagai anggota dewan, Saya pikir tidak ada orang yang mau berjuang selama puluhan tahun di hutan-hutan meninggalkan keluarganya,” kata Nurzahri.
Ketika saya tanyakan hal ini kepada Taufik Abda, ia menjelaskan SIRA sama sekali tidak mempunyai tujuan untuk memecahkan perpecahan di tingkat lapangan. “Itu tidak benar. Dari mana anda mendapatkan informasi tersebut. Alasan SIRA membentuk partai karena mandat dari MoU Helsinki. Itu kan sebagai alat perjuangan yang legal, dan juga bisa memberikan pendidikan politik bagi anggota-anggota SIRA yang ada Sekarang,” katanya.
Sebagai salah seorang yang ikut mendirikan SIRA, Fajran Zain juga memberikan pendapatnya. “Itu jelas melanggar etika organisasi. Seharusnya jika SIRA ingin membentuk partai, harusnya ada dibuat semacam KOMPAS III, dimana keputusan juga diambil secara kolektif,” ujarnya yang saat ini telah menjadi staf ahli di Aceh Institut.
Dari perbedaan pandangan itulah Nurzahri kemudian memutuskan mengundurkan diri dari SIRA pada Agustus 2006. Ia tercatat terakhir aktif dalam kegiatan SIRA saat menghadiri rapat pencalonan diri Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur melalui jalur independen. Pasca MoU Helsinki, Muhammad Nazar bebas dari penjara karena mendapat amnesti dari Pemerintah Indonesia. “Ada beberapa konsul yang menanyakan alasan pengunduran diri saya dari SIRA. Namun saya menjawab, pilihan saya ini lebih terhadap pilihan pribadi. Karena pada waktu itu saya tidak berprinsip untuk memecah SIRA,”
PERSOALAN BARU TERUS BERMUNCULAN DI TUBUH SIRA pasca perjanjian damai tercapai. Saat itu SIRA tidak lagi mengkampanyekan referendum tetapi mengawal dan mendukung proses perdamaian berlangsung, diantaranya dengan aktif mengawal proses pembuatan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA). Kali ini persoalan tersebut bukan datang dari kalangan internal organisasi, melainkan berasal dari luar struktur organisasi SIRA.
Rentetan persoalan tersebut diawali pada 17 Februari 2006. saat itu sekitar 100 orang yang dicurigai dari kalangan milisi, melakukan pengrusakan di kantor konsulat/perwakilan SIRA wilayah Blang Pidie, Kabupaten Aceh Barat Daya. Akibat pengrusakan tersebut pintu, jendela, dan satu unit radio tape dilaporkan hancur. Para pelaku juga merampas satu unit mesin ketik dan dua buah tas yang berisikan buku-buku agenda dan dokumen SIRA.
Empat bulan berselang, masalah baru kembali menghinggapi organisasi ini. Kali ini SIRA dituduh sebagai organisasi terlarang bersama 16 organisasi lainnya. Menurut Kepala Polisi Daerah (Kapolda) NAD yang menjabat saat itu, Irjen Pol Bachrumsyah, lembaga SIRA merupakan organisasi ilegal karena tidak memiliki izin operasional dari pemerintah. “Kita sudah memerintahkan para Kapolres dan Kapoltabes dalam wilayah NAD, bila kedapatan ada organisasi ilegal termasuk SIRA, melakukan kegiatan mengumpulkan massa segera ditindak. Kalau membandel tangkap saja,” katanya kepada serambi indonesia.
Persoalan lainnya, saat empat aktivis SIRA ditangkap oleh pihak kepolisian di dua lokasi terpisah, di Tamiang dan Aceh Barat Daya. Empat aktivis itu adalah, Hanafiah, Samsul Bahri, Remi, dan Saharuddin, Ketua SIRA Konsulat Aceh barat Daya. Mereka ditangkap saat sedang menempel dan menyebarkan selebaran mogok massal selama setengah hari pada 12 Juli 2006. Ajakan mogol massal ini guna menuntut DPR RI, Pemerintah, serta pihak lainnya melakukan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU PA), hingga jika nanti disahkan sesuai dengan butir-butir dalam MoU. Selang tujuh jam kemudian, keempat aktivis ini dibebaskan
SIRA AKHIRNYA MEMBENTUK PARTAI, melalui sebuah kongres yang dilaksanakan di Wisma Bintara Pineung, Banda Aceh, pada 10-13 Desember 2007. Partai itu tetap menggunakan nama SIRA, Namun kepanjangannya dirubah menjadi Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Pemilihan akronim partai ini sempat berjalan alot di hari kedua kongres.
Sedikitnya ada 21 akronim SIRA yang telah dipersiapkan oleh Panitia Persiapan Pembentukan Partai Pollitik Lokal (P5L) SIRA, diantaranya Seutot Indatu Rakyat Aceh, Solidaritas Independent Rakyat Aceh, Su Wali Rakyat Aceh, Sahabat Independent Rakyat Aceh, Saboh Ikat Rakyat Aceh, Seluruh Ikatan Rakyat Aceh, Sosialis Islam Rakyat Aceh, Save Islam Raya, Seuramoe Islam Rakyat Aceh, Society Indepent Rakyat Aceh, Solidaritas Insan Rakyat Aceh, Seuramoe Islam Raja Aceh, Suara Intelektual Rakyat Aceh, Seuramoe Independent Republik Aceh, Seuramoe Jejak Indatu Rakyat Aceh, Sue Intat Rakyat Aceh, Suara Independent Rakyat Aceh, Serikat Independent Rakyat Aceh, Serap Inspirasi Rakyat Aceh, Sentral Informasi Revoluasi Rakyat Aceh, dan Semua Ini Rakyat Aceh.
Tapi kenapa harus menggunakan nama SIRA? Menurut Fajran Zain keputusan membentuk partai dengan tetap menggunakan nama SIRA merupakan sebuah pelanggaran etika dalam berorganisasi. “Buatlah apa namanya, tapi bukan SIRA. Itu kan keputusan orang ramai saat KOMPAS,” katanya.
Taufik Abda, yang berhasil terpilih menjadi Ketua Dewan Umum Pengurus Pusat (DPP) Partai SIRA, punya alasan sendiri yang diucapkannya kepada Modus. Jika SIRA tidak menggunakan akronim SIRA sebagai nama partai, maka pilihannya nanti akan Sangat banyak. Menggunakan akronim SIRA saja, kepanjangannya sudah lebih dari 21 nama.
“Tujuan utama Partai SIRA itu dibentuk kan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh yang kekinian dalam era transformasi politik, serta memperjuangkan hak-hak rakyat melalui mekanisme parlemen berpolitik dalam konstitusi Republik Indonesia. Artinya bahwa Partai SIRA itu merupakan alat politik praktisnya organisasi Sentral Informasi Referendum Aceh,” kata Ketua Internal Partai SIRA, Muhammad MTA saat saya mendatangi kediamannya di Prada.
Namun tidak hanya akronim SIRA saja yang menjadi perdebatan alot saat kongres pembentukan partai SIRA berlangsung. Masalah lebih besar justru disebabkan karena ada dua kubu yang setuju dan tidak setuju terhadap Peninjauan Kembali (PK) Anggaran Dasar Partai SIRA pada BAB VIII tentang Wewenang dan Kewajiban Pimpinan Partai yang dianggap pembagian kekuasaan partai antara Majelis Tinggi Partai (MTP) dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai. Sebagian peserta menganggap kekuasaan MTP terlalu tinggi sehingga DPP akan dikendalikan oleh MTP.
Keributan dimulai ketika Muhammad MTA yang setuju PK, merebut microphone dari Muhammad Taufik Abda yang saat itu menjadi Ketua Panitia Persiapan Pembentukan Partai Politik Lokal SIRA, hendak mengambil alih sidang ketika sedang memanas. Puncaknya nyaris terjadi baku bogem antara Muhammad MTA dan Taufik Abda. Masalah itu berhasil diselesaikan lewat pertemuan tertutup yang juga diikuti oleh Ketua Majelis Tinggi Partai, Muhammad Nazar yang saat juga menjabat sebagai Wakil Gubernur NAD.
”Tidak ada kericuhan. Yang ada hanya perdebatan alot. Ini biasa dalam sebuah forum,” ujar Nazar kepada pers waktu itu.
Lantas bagaimana dengan organisasi SIRA? Hal itu kembali saya tanyakan kepada Taufik Abda.
”Untuk sementara organisasi SIRA masih tetap akan ada, tapi kemudian nanti akan dibicarakan didalam forum mekanisme di internal SIRA sendiri. Karena masing-masing punya mekanisme sendiri. Pada sidang umum nantilah dilihat bagaimana kelanjutannya,”
”Karena saat ini kami sedang berkonsentrasi untuk melengkapi persyaratan verifikasi yang akan kami daftarkan pada Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) pada akhir Februari ini,” katanya.
”Sampai sejauh mana kelengkapan verifikasi yang telah dilakukan partai SIRA,” tanya saya.
”Sampai saat ini kami sudah mempunyai pengurus cabang di 18 Kabupaten/Kota. Sekarang kami tinggal menunggu proses administrasi, kantor, dan sebagainya selesai,” ujar Taufik Abda.
Mengenai koalisi dengan partai-partai lain, Muhammad MTA menjelaskan Partai SIRA adalah partai inklusif, yaitu partai yang boleh dimasuki siapa saja sesuai dengan ketentuan-ketentuan partai. ”Jadi kalau memang visi dan misinya sejalan, kami akan melakukan koalisi dengan siapapun. Asalkan itu memang untuk menguntungkan masyarakat Aceh,” katanya.
Terkait dengan sumber dana partai, diakui Muhammad MTA, sampai saat ini Partai SIRA belum mempunyai anggaran permanen untuk operasional, semuanya masih diperoleh dari sumbangan yang diberikan anggota Partai. ”Kami tidak menetapkan jumlah besaran dana yang harus disumbangkan oleh para anggota partai. Yang penting sumbangan itu ikhlas, mau dia nyumbang Rp.1.000 atau Rp 1 juta, pasti akan kami terima,” terangnya.
Persiapan verifikasi telah hampir final dipersiapkan. Target menghadapi Pemilihan Umum 2009 pun mulai dipancangkan. ”Partai SIRA menargetkan untuk penguasaan parlemen Aceh. Namun spesifikasi jumlah kursi yang akan dikuasai belum diputuskan. Itu suatu hal yang tidak boleh dimunafikkan. Kalau memang ada partai politik lokal yang mengatakan tidak mempunyai target apa-apa, untuk apa membuat partai,” Kata Muhammad MTA.
Jadi kita tunggu saja, apakah perubahan SIRA menjadi partai SIRA akan menciptakan sikap dan sifat eksklusifitas (ketertutupan) SIRA di depan rakyat dan mahasiswa, atau malah sebaliknya. Oleh karena itu, rakyat dan mahasiswa harus tetap memantau SIRA, karena apapun bentuk dan wajah SIRA sekarang tidak bisa dilepaskan dari perjuangan dan darah rakyat Aceh serta semangat mahasiswa-mahasiswa Aceh diperantauan.
Sumber : https://rizkyfechrizal.wordpress.com/2010/03/30/di-balik-layar-sang-pejuang-referendum/
0 comments:
Post a Comment