Sunday, August 31, 2014

Membaca Pikiran Hasan Tiro



Membaca Pikiran Hasan Tiro
Selasa, 3 Juni 2014 11:52 WIB
(Membuka ‘Kotak Hitam’ Sejarah Aceh)


Oleh
 Husaini Ibrahim

Tgk Muhammad Hasan di Tiro

MEMBACA pikiran Hasan Tiro bisa dilihat dari gagasannya yang dituangkan dalam berbagai karyanya, baik yang telah diterbitkan atau yang belum, dan boleh juga diamati dari tindakannya yang mulai memimpin memberikan kuliah di universitas tertutup (UT) di Gunung Halimun, Kabupaten Pidie pada 1976. Dalam kuliah itu dihadiri oleh mahasiswa perdana, kemudian berlanjut dengan mendirikan “University of Aceh” di Pidie yang kuliah perdana dimulai pada 20 September 1977. Banyak mahasiswanya kemudian berhasil diwisuda, ada beberapa alumni telah almarhum, ada yang “disekolahkan” pada masa Orde Baru, dan beberapa di antaranya telah menjadi “orang” dan memegang peranan penting di Aceh dan di luar negeri.

Sebagai seorang pemikir, Hasan Tiro meletakkan dasar perjuangan yang sifatnya berkelanjutkan (sustainable) hingga mencapai maksudnya yaitu negara bebas dari intimidasi, merdeka dalam berdemokrasi. Membaca pikirannya, bahwa Hasan Tiro bukan berjuang untuk diri sendiri, akan tetapi perjuangan untuk anak negeri, demi masa depan yang lebih baik, terhormat dan bermartabat.

Dalam perjalanannya, alumni University of Aceh, tidak lagi membuka kampus di gunung, namun perjuangannya telah merambah ke berbagai kota dan kawasan yang luas di berbagai belahan dunia. Kuliahnya yang mendunia, telah berubah dari sistem universitas tertutup (UT), menjadi universitas terbuka, yang singkatannya tetap juga UT. Hasan Tiro telah berhasil merumuskan berbagai gagasan dan konsep pemikirannya, sehingga dalam kurun waktu yang tidak begitu lama banyak orang mengikutinya. 

Ketika pikiran dan gagasan Hasan Tiro telah mendapat dukungan dari banyak orang, maka pola perjuangannya di samping melakukan tindakan ofensif, juga ditempuh dengan cara-cara agresif. Semangat kebangsaan yang dimiliki dan tertanam dalam hati sanubari Hasan Tiro, telah berhasil menggerakkan rakyat mengikutinya. Namun, di sisi lain perlawanan terhadap dirinya pun gencar dilakukan, akibatnya perjuangannya lebih banyak digerakkan di luar negeri, dan sebagian pengikutnya juga hijrah ke luar negeri. 

Di bawah kendali Hasan Tiro di luar negeri, perjuangan tetap berkelanjutan hingga ke pelosok-pelosok negeri. Perjuangan Hasan Tiro telah dilaluinya dengan penuh suka dan duka dan kebanyakan hidupnya dicurahkan untuk memikirkan masa depan rakyat dan negeri yang lebih baik, sejahtera lahir dan batin.

Berebut kekuasaan

Landasan pemikiran Hasan Tiro dengan mencetuskan “univeritas” merupakan wujud nyata yang harus dibaca bahwa beliau ingin mengingatkan semua rakyat harus belajar dengan tekun, paling kurang sampai meraih gelar sarjana. Namun, sekarang banyak orang tidak bisa menangkap isyarat Hasan Tiro, bahkan mereka yang mengaku pengikutnya sendiri lupa akan sinyal dan wujud nyata perjuangan Hasan Tiro. Sekarang banyak orang berebut kekuasaan dan kesempatan melalui berbagai cara perjuangan tanpa memperhitungkan latar belakang pendidikan yang telah ditempuhnya. 

Hasilnya, banyak pejabat dari berbagai tingkatan diisi oleh orang-orang yang tidak berkomputen dan tidak profesional, bahkan ada di antaranya yang hanya memiliki ijazah paket C. Untuk memenuhi persyaratan kepegawaian dan kepangkatan, banyak yang “membeli” ijazah sesuai dengan jenjang yang diinginkannya. Sangat disayangkan ada lembaga pendidikan tertentu yang memperjualbelikan ijazah tanpa melalui proses yang benar.

Satu kenyataan yang tidak bisa dinafikan adalah terjadinya krisis pemikiran di berbagai tingkatan, baik di kalangan intelektual, apalagi dalam masyarakat awam. Banyak orang tidak berani mengeluarkan pemikirannya karena berbagai ketakutan, daripada menghadapi risiko, orang lebih bersikap apatis, memilih menyelamatkan diri sendiri dan condong mengikuti arahan atasan daripada hati nuraninya. Akibatnya, kepatuhan semu lebih menonjol daripada kejujuran yang sebenarnya. Kondisi ini membuat suasana berpikir terhempas kebuntuan, sehingga harapan dan cita-cita perjuangan mengalami perbenturan. 

Menangkap isyarat Hasan Tiro yang telah meletakkan fondasi yang kuat bagi memajukan kesejahteraan rakyat dan negerinya, gagasan dan pikirannya hingga saat ini belum seberapa yang telah terwujud. Banyak faktor penyebabnya mengapa pikiran dan tindakannya belum terimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga “kotak hitam” sejarah Aceh belum terbuka.

Untuk membuka “kotak hitam” sejarah Aceh bukanlah hal yang mudah, seorang sejarawan profesional bahkan Guru Besar Sejarah sekalipun belum tentu tahu cara membukanya. Jika ingin membuka “kotak hitam” sejarah Aceh sesuai dengan pikiran Hasan Tiro, maka harus bisa dan pandai membaca pikirannya. Pikiran Hasan tiro telah banyak dituangkan dalam berbagai buku karangannya, baik yang telah diterbitkan atau belum, namun untuk mendapatkannya agak sulit karena tidak banyak beredar di pasaran bebas. 

Di antara pikiran Hasan Tiro yang telah dituangkan dalam karyanya yaitu Demokrasi untuk Indonesia (1958), Masa Depan Dunia Melayu (1968), Atjeh bak Mata Donja (1968), dan The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro (1979), buku yang disebut terakhir ini telah beberapa kali dicetak ulang. Membaca pikiran Hasan Tiro tentu saja tidak cukup hanya dengan membaca beberapa buah karyanya, akan tetapi harus menyelami lebih dalam lagi termasuk menelusuri tindakan-tindakannya yang kadang-kadang cukup spektakuler. 

Membaca “kotak hitam” sejarah Aceh tidak ubahnya seperti membaca kotak hitam dari sebuah pesawat yang jatuh. Guna mengungkapkan sebab musabab kecelakaan sebuah pesawat, maka kotak hitamnya harus dicari dan hanya dapat dibaca oleh pakar melalui pabrik yang memproduksi pesawat tersebut. Sebut saja, misalnya, pesawat Boeing kotak hitamnya harus dibawa ke AS untuk memeriksanya; Fokker harus dibaca ke Amsterdam, Negeri Belanda; Mirage kotak hitamnya harus dibawa ke Prancis; dan pesawat Sukhoi untuk membaca kotak hitamnya harus dibawa ke Rusia. 

Membaca “kotak hitam” sejarah Aceh harus melalui arsitek yang melahirkan dan membangkitkan semangat perjuangan Aceh demi kesejahteraan rakyat dan negeri sebagai warisan endatu. Untuk itu harus ditelusuri bukan hanya hasil sejarahnya, akan tetapi juga dilacak melalui proses sejarah yang penuh liku-liku. Tindakan Hasan Tiro melakukan berbagai aksi adalah bagian dari proses sejarah yang perlu dilacak jejak-jejaknya demi mengungkap “kotak hitam” sejarah Aceh. 

Ibarat air mengalir
Proses sejarah harus dilihat dengan penuh penghayatan, sehingga dapat ditelusuri bagian-bagian terdalam yang tak kasat mata. Ibarat air yang mengalir, terkadang deras, terkadang memusing, dan adakalanya tenang mengalir perlahan. Dilihat permukaannya tampak sama, akan tetapi di balik itu ada benda atau sesuatu yang terjadi di bawah permukaan yang tiada kelihatan. Demikian juga proses sejarah harus dilihat dan didalami dan dihayati secara mendalam, sehingga nampak wujud yang sebenarnya. 

Melacak jejak sejarah perjuangan Hasan Tiro misalnya dapat dilihat pada tindakannya memandu anggota KTN PBB, dan kehadirannya bersama Mr Syafruddin Prawiranegara ke Banda Aceh pada 1949, yang waktu itu bernama Kuta Raja (Afifa, 2013:105). Tindakan lain adalah mengirim surat protes kepada PM Mr Ali Sastroamijoyo pada 1954, Kiprahnya sebagai Duta Besar DI/TII di PBB (1954) atas usulan Tgk Muhammad Daud Beureueh yang memimpin Aceh waktu itu. 

Banyak sekali tindakan yang dilakukan Hasan Tiro dalam rangka perjuangan menegakkan kembali kejayaan Aceh yang sejahtera bagi negeri dan rakyatnya, termasuk yang paling menantang adalah mendeklarasikan Kemerdekaan Aceh 4 Desember 1976. Sejak itu perjuangannya terus berlangsung dengan berbagai liku suka-duka dan akibat yang panjang yang dirasakan oleh anak negeri, sampai akhir episode perjuangannya dengan penandatangananan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005.

Dalam usia yang sangat uzur 84 tahun saat kepulangannya yang terakhir dari Swedia ke Banda Aceh, 17 Oktober 2009, beliau tidak dapat lagi menikmati hasil perjuangannya secara sempurna, namun simbol kebesarannya masih terasa di kalangan masyarakat. Beliau menitipkan harapan besar agar “kotak hitam” sejarah Aceh dapat terkuak di kemudian hari. Hasan Tiro meninggal pada Kamis, 3 Juni 2010 dalam usia 85 tahun di Banda Aceh, dikebumikan di samping makam kakeknya Tgk Chik di Tiro Syeh Muhammad Saman, di Gampong Meureu, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar. 

Meninggalnya beliau bukanlah berarti pikiran dan tindakannya turut terkubur pula. Sebagai seorang penggerak sejarah, Hasan Tiro telah menyemai dan menaburkan bibit-bibit perjuangan untuk diteruskan oleh pejuang-pejuang berikutnya. Membuka “kotak hitam” sejarah Aceh merupakan suatu amanah yang ditipkan Hasan Tiro kepada generasi penerus. Hasan Tiro melihat Aceh masih terselubung “awan hitam”, mendung masih menutupi sebagian besar negeri, masyarakat belum merasakan kebahagiaan dan kedamaian dalam suasana yang demokrasi. Hanya beberapa petinggi yang bisa menikmati hasil perjuangannya. Tanggung jawab dan tugas masih membentang di hadapan kita, guna membuka rahasia “kotak hitam” sejarah Aceh. Wallahu a’lam bish-shawab.

* Dr. Husaini Ibrahim, MA., Dosen Sejarah FKIP, Kepala Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya Unsyiah, dan Wakil Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Aceh. Email: husibram@gmail.com

Sumber : www.serambinews.com(edisi 3 juni 2014)



0 comments:

Post a Comment

resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut