Aceh dalam perjalanannya selalu memberikan kesan yang sulit terlupakan setidaknya itulah yang ingin saya sampaikan dari tulisan ini, mulai dari rentetan konflik berkepanjangan, karakter manusianya yang sulit dimengerti apalagi kalau kita mempelajari persoalaan jiwa fanatisme yang sangat kuat terhadap agamanya yang tentunya menjadi pengikat yang kuat dalam kehidupan masyarakatnya, karena sesungguhnya sampai hari seorang ilmuan terkenalpun susah memisahkan antara orang aceh dan agamanya.
Salah satu monumen sekaligus tempat ibadah kebanggaan Ureng Aceh adalah Masjid Raya Baiturrahman, masjid ini berdiri di tengah-tengah kota banda aceh hal ini menggambarkan bagaimana Posisi Masjid ini dalam pandangan Ureng Aceh.
Hampir setiap saat Masjid ini selalu dikunjungi oleh banyak manusia baik itu dari masyarakat aceh sendiri, dari luar aceh maupun wisatawan asing. Selain menyediakan pemandangan yang indah dilengkapi dengan kolam ikan dan air mancur di dalam perkarangan Masjid juga terdapat beberapa monumen sejarah serta penjelasannya, dimana monumen-monumen tersebut mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi.
Diantara banyaknya monumen didalam perkarangan masjid mungkin salah-satu yang banyak menarik minat pengunjung terutama para akademisi dan peminat sejarah adalah sebuah monumen yang terletak di samping kiri masjid yaitu sebuah batu putih berbentuk persegi di atas batu tersebut terukir beberapa tulisan yang menerangkan bahwa tepat pada posisi batu itu berdiri saat ini pada 1873 lalu tewas salah satu jendral perang belanda yang bernama Johan Harmen Rudol Kohler, sang jendral tewas dalam perperangannya melawan Kerajaan Aceh Darusalam dan dalam upayanya melakukan ekspansi terhadap Masjid Raya Baiturrahman di saat itu, bahkan sang jendral sempat membembakar Masjid yang menjadi icon kebanggaan masyarakat aceh tersebut.
Penyebab Perang Aceh-Belanda 1873
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan & Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London ialah Belanda & Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris & Belanda, yg isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak & menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
Sebagai respon terhadap perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia & Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh & meminta keterangan dari Sultan Mahmud Syah tentang apa yg sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Mahmud menolak untuk memberikan keterangan. (baca buku Asal Mula Konflik Aceh, Antony Reid)
Sampai Akhirnya tepat diawal-awal tahun 1873 Belanda Mendeklarasikan perang terhadap Aceh dengan mengirim Jendral Kohler bersama 3000 serdadu bersenjata lengkap untuk melakukan ekspansi pertama terhadap Aceh.
Mungkin tidak ada yang menyangka sebelumnya tentang hasil dari ekspansi yang dilakukan oleh jendral kolher dimana hobi perangnya aceh sepertinya benar-benar tergambar jelas disini dimana sang jendral harus meregam nyawanya di tanah aceh.
Pasukan belanda yang bersenjata lengkap harus lari dan takluk dari aceh, sultan Mahmud beserta dukungan seluruh elemen masyarakat aceh rupanya benar-benar sepakat untuk mempertahankan tanah aceh dari serangan para kolonialis dengan berbagai cara termasuk perang mati-matian, hal ini menggambarkan bagaimana solidaritas masyarakat aceh sesuai dengan Falsafahnya yaitu yang berbunyi "ureng aceh menyoe ka meupakat lampoh jeurat dipeugala".
Bahkan beberapa media barat memberitakan kekalahan belanda ini salah satunya New York Time edisi tahun 1873 (baca buku aceh di mata dunia), dan tersiar kabar lagi bahwa kekalahan yang dialami oleh belanda tersebut adalah kekalahan pertama bangsa barat dari bangsa timur.
Walaupun kini semua itu hanya menjadi sebuah manifesto sejarah namun setidaknya hal ini bisa menjadi kebanggaan tersendiri bagi seluruh masyarakat aceh dan Masjid Raya Baiturahman lah yang menjadi saksi bisunya yang sampai detik ini masih berdiri tegak dan sangat megah di tengah-tengah perjalanan sejarahnya bangsa aceh yang lalu,hari ini dan mudah-mudahan selamanya.
0 comments:
Post a Comment