Saturday, January 17, 2015

MILITER DAN TRANSISI MENUJU DEMOKRASI DI THAILAND DAN INDONESIA : SUATU PERBANDINGAN

Dari keseluruhan organisasi militer di Negara – Negara Asia, mungkin militer Thailand dan indonesialah yang telah menjadi kekuatan dominan paling konsisten dalam sejarah mengenai keterlibatannya dalam politik dibawah rezim otoritatarian. Meski ada kemiripan, antara Thailand dan Indonesia dalam mengambil langkah sangat berbeda untuk mengakhiri dominasi militer atas dunia politik mereka. di Thailand, peran politis mileter mengalamipengurangan secara gradual sejak tahun 1973, sedangkan di Indonesia pengurangan peran politik mileter terjadi akibat jatuhnya rezim soeharto pada tahun 1998. Ini adalah pengalaman transisi demokrasi yang berbeda antara Thailand dan Indonesia, namun yang menjadi pertanyaannya sekarang mengapa pengurangan dominasi mileter dalam politik di Thailand dan Indonesia mengambil jalur yang sangat berbeda dan terjadi dalam kerangka waktu yang sangat berlainan.


Untuk membahas hal itu, pertama – tama perlu dijelaskan dan mendefenisikan dua konsep penting, yaitu “politik militer” dan “Transisi demokratis.” Setelah itu baru akan kami paparkan cirri utama dari politik militer di Thailand dan Indonesia, dan silsilah dari politik militer dikedua Negara tersebut. 

Muhammad Najib Asca menilai bahwa pengurangan dominasi mileter dalam politik di Thailand dan Indonesia, adalah sebuah jalur yang berbeda serta dalam waktu yang tidak bersamaan. Salah satu factornya adalah adanya perbedaan karakteristik yang berlainan dari politik militer di kedua Negara, dan perbedaan latar belakang sosial-budaya, ekonomi. Walaupun kedua Negara, menurut argumen Crouch memiliki stuktur sosial yang menguntungkan bagi satu dominasi militer yang stabil, namun perkembangan dari transisi kudeta dalam militer Thailand justru menunjukkan tidak adanya kekuasaan politik yang kuat dari kaum militer. Di sisi yang lain, kekuatan civil society meningkat seiring perubahan yang terjadi, yang menyebabkan terjadinya transisi demokrasi yang lebih dini dibandingkan dengan Negara – Negara tetangganya.(Lihat Tulisan Muhammad Najib Asca, dalam Buku Praktek-Praktek Bisnis Militer, Halaman 252.) 

Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, dimana konsentrasi kekuasaan ditangan Soeharto, telah menghasilkan rezim dominan militer yang berkuasa dalam waktu yang lama. Mengapa membandingkan Thailand dan Indonesia ? setidaknya ada dua alasan, pertama kedua Negara itu militer untuk waktu yang lama merupakan kekuatan yang memerintah dibawah satu rezim otoritarian. Kedua, Thailand dan Indonesia dicirikan oleh keterlibatan mereka dalam kapitalisme pasar.

Politik Militer

Istilah politik militer digunakan dalam tulisan ini untuk mengacu pada keterlibatan militer dalam politik sipil. Di dalam satu demokrasi liberal, keterlibatan militer dalam politik dilihat sebagai suatu anomaly, sebagaimana dinyatakan oleh Huntington “ Politik berada diluar kompetensi militer, dan partisipasi perwira militer dalam politik merendahkan profesionalisme mereka, membatasi kompetensi professional mereka, memecah belah profesi itu sendiri, dan mengganti nilai – nilai professional dengan nilai – nilai asing. Perwira militer harus tetap netral secara politik”. 

Sedangkan menurut Nordlinger, perwira militer yang terkait dalam politik sering dinamai “penunggang kuda” tentara berseragam, pembedah besi, dan birokrat bersenjata, atau tentara praetorian. Yang masing – masing mengacu pada pada elemen budaya dan sejarah. Praetorianisme dalam analisa Nordlinger, mengacu pada satu situasi dimana perwira militer adalah actor politik yang unggul atau yang utama atas ancaman atau tindakan penggunaan kekerasan. Tujuan dari perwira praetorian pemerintah adalah untuk mengubah kondisi politik dan kadang sosial-ekonomi untuk akhirnya menjadi kekuatan dominan di dalam rezim.

Transisi Demokratis

Satu transisi demokratis, menurut ethier adalah suatu interval diantara rezim otoritarian dan satu rezim demokratis. O’donnell dan schmitter, berargumen bahwa periode transisi memiliki ciri – cirri ketidakpastian. Permulaan dari satu transisi demokratis, sebagaimana dikatakan oleh O’Donnell dan Schmitter biasanya adalah konsekuensi dari divisi – divisi penting di dalam rezim otoritarian itu sendiri, terutama muncul bersamaan dengan benturan antara kaum garis keras dan kaum moderat. (Tulisan Muhammad Najib Asca, didalam Buku Praktek-Praktek Bisnis Militer, Halaman 254)

Karena militer umumnya adalah kekuatan vital dalam rezim otoritarian, militer biasanya memainkan peran yang penting selama proses transisi demokratis sebagai satu kekuatan yang moderat. Di era pasca transisi ini, berarti militer diperbolehkan memiliki pengaruh politis sampai tingkat tertentu. Karena itu pola baru dari hubungan sipil-militer di era pasca transisi adalah bagian yang krusial dari satu proses konsolidasi demokrasi.
Silsilah politik militer di Thailand dan Indonesia 

Silsilah dari politik militer Thailand dapat dilacak balik ke zaman permulaan kerajaan budha yang bernama Sukhotai, didirikan di zaman pertengahan abad XII. Pendiri dinasti thai asli yang pertama adalah seorang pemimpin militer yang hebat, Ramkhamheng. Dibawah Ramkhamheng yang legendaries(1279-98), kerajaan diperluas sampai mencakup mayoritas dari wilayah Thailand saat ini. Pasca perang dunia II, monarki thai dapat mengklaim sebagai satu – satunya Negara di asia tenggara yang lolos dari kolonialisme. Karena Thailand tidak pernah secara langsung dijajah oleh satu kekuatan barat, militernya tidak pernah mengadopsi konsep supermasi sipil dari dunia barat.(Tulisan Muhammad Najib Asca, Dalam buku Praktek-Praktek Bisnis Militer, Halaman 255)

Militer Thailand awalnya memasuki politik pada saat kudeta tahun 1932, yang menjatuhkan sistem monarki Absolut. Meskipun demikian menurut Hoadley, kudeta tersebut bukanlah satu kudeta militer atau revolusi populer. Sebaliknya ia berargumen, kudeta tersebut adalah hasil dari satu kombinasi dari beberapa factor, termasuk prilaku raja ketika itu, kecendrungan menuju konstitusionalisme, meningkatnya rasa percaya diri rakyat biasa di birokrat dan militer, serta situasi ekonomi yang memburuk. Namun demikian, kudeta tersebut adalah langkah pertama bagi masuknya militer ke dalam politik di Thailand. Sejak saat itu, menurut samudavanija dan bunbongkarn, Thailand telah mengalami 14 kali kudeta, 13 konstitusi, 14 pemilu, 42 kabinet.

Berbanding kontras dengan Thailand, pengalaman satu perjuangan bersenjata untuk kemerdekaan dari penjajah di Indonesia, menyebabkan militer Indonesia mempunyai dasar yang kuat untuk membenarkan peran politiknya. Lebih lanjut lagi, ketegangan yang meningkat di masa awal kemerdekaan antara pemimpin sipil dan elemen militer telah menciptakan satu persepsi bahwa militer adalah lembaga yang terbentuk dengan sendirinya dan bukanlah lembaga bentukan pemerintah. 

Citra dari tentara yang terbentuk dengan sendirinya berarti bahwa anggota militer melihat diri mereka sebagai “mandiri” secara politis dan mendorong mereka untuk berkutat dalam politik. Namun, keengganan pemerintah untuk berurusan dengan militer di masa ini menciptakan suatu pola tertentu dari hubungan sipil dan militer, dan semua usaha yang berikutnya untuk menempatkan tentara dibawah control sipil menjadi gagal.

Langkah kritis berikutnya yang diambil militer Indonesia dalam hal keterlibatannya dalam politik adalah “peristiwa 17 oktober 1952” peristiwa ini, menurut jendral nasution, dikutip oleh Jenkins, adalah “kudeta setengah hati”, karena tentara memaksa presiden soekarno untuk mengambil kekuasaan agar dapat membubarkan parlemen sementara.

Presiden soekarno menolak paksaan tentara dan jendral A. H Nasution, ketika itu kepala staf angkatan darat, kemudian mengundurkan diri. Kegagalan dari percobaan kudeta ini meninggalkan kenangan pahit dalam ingatan perwira militer, dan membuat mereka enggan mengambil langkah yang serupa dikemudian hari. Tak mengherankan, dengan pengalaman seperti itu maka peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Jendral Soeharto tidak pernah dianggap sebagai kudeta oleh militer, walaupun fakta adalah kudeta, sebagaimana disebut oleh Anderson dan Mcvey dan crouch. Dengan pemahaman seperti itu maka militer Indonesia selalu mengatakan bahwa mereka tidak memiliki tradisi kudeta, sebagaimana yang dimiliki oleh militer Thailand.

Langkah krusial lainnya dalam jalan militer menuju kekuasaan adalah keluarnya dekrit 5 juli 1959, dimana presiden soekarno membubarkan konstituante dan mengumumkan berlakunya kembali UUD 1945. Dibawah UUD 1945 soekarno memainkan peran sangat penting sebagai pemimpin besar, dan militer secara legal dan konstitusional diakomodasi kedalam politik, seperti terlihat dalam cabinet kerja pada tanggal 10 juli 1959, sepertiga menterinya berasal dari militer. Kemudian peran militer ini meningkat secara dramatis pada tahun 1966 mengikuti apa yang dinamakan oleh Crouch, sebagai satu “kudeta terselubung”.

Ketika presiden Soekarno diturunkan dari jabatannya, dan militer memegang tampuk kekuasaan. Semenjak itulah militer menjadi kekuatan politik di Indonesia, hingga pada tahun 1998. Setelah 1998, peran tersebut di koreksi kembali dengan adanya gerakan reformasi yang menyebabkan peran politik militer Indonesia dipertanyakan dan ditinjau kembali.

Ciri – cirri utama dari politik militer di Thailand dan Indonesia 

Kronologis Sejarah

Keterlibatan militer dalam politik di Thailand dapat dibagi kedalam 6 periode. Periode pertama berlangsung dari tahun 1932-1944, yang dimulai dengan terjadinya kudeta pada 1932 dipimpinan oleh phibun songkram(anggota militer) dan pridi phanomyong(sipil). 

Periode ini oleh dicirikan oleh konstitusionalisme dan kemunculan pemerintahan militer. Periode kedua, yang berlangsung dari tahun 1947-1957 yang menandakan kembalinya oligarki militer, dipicu oleh kudeta yang dilakukan oleh pro-Phibun songkram dan diakhiri oleh kudeta pimpinan sarit thanarat pada tahun 1957. Periode ketiga , dari tahun 1957-1968, adalah era absolutisme militer yang dimulai setelah periode kudeta sarit dan diakhiri oleh diluncurkannya kudeta baru pada tahun 1968. Periode keempat, berlangsung dari tahun 1969-1973, adalah era otoritarianisme militer dan perjuangan untuk demokrasi. 

Jatuhnya klik thanom-phrapat dari tahun 1973-1992, dimulai dengan demonstrasi yang pimpinan oleh kaum muda pada tanggal 14 oktober 1973. Era ini adalah periode politik terbuka dan gerakan Reformasi Militer. 

Periode terakhir, dari tahun 1992 sampai sekarang,dimulai dengan bulan mei 1992, ketika percobaan kudeta pimpinan jendral Suchinda kraprayooon ditentang oleh protes missal yang dipimpin mahasiswa.

Sementara itu keterlibatan militer di Indonesia dalam perpolitikan nasional mengambil jalur yang cukup berbeda. Politik militer dalam sejarah Indonesia dapat dibagi kedalam empat tahap. Tahap pertama dari tahun 1945-1959, dicirikan oleh satu transisi dari ‘aksi’ menjadi “akomodasi” tahap kedua, dari tahun 1959-1966, ditandai oleh pergeseran dari akomodasi menjadi dominasi, tahap ketiga dari tahun 1966-1998, militer membuat transisi dari dominasi menjadi hegemoni dan tahap terakhir, setelah kejatuhan soeharto di tahun 1998, hegemoni militer telah ambruk dan militer masuk kedalam krisis yang berkempanjangan. Jatuhnya soeharto pada tahun 1998, menyebabkan hegemoni militer mengalami krisis legitimasi. Saat ini, politik militer Indonesia berada di persimpangan, keterlibatannya dapat menghilang ketingkatan terendah yang umum dibawah rezim demokratis atau kembali ke posisi sebelumnya sebagai kekuatan pemerintah dibawah razim otoritarian.

Budaya dan Ideologi militer

Budaya dan ideologi militer adalah dua bagian vital dari politik militer. Keterlibatan militer dalam politik disukai budaya militer tertentu dan biasanya disjustifikasi oleh ideologinya.Sebagaimana yang dikatakan diatas, militer Indonesia melihat dirinya sebagai lembaga yang tercipta dengan sendirinya dimana para anggotanya adalah lebih sebagai “pejuang kemerdekaan”, ketimbang prajurit. Pendirian ini telah bermuara pada perkembangannya satu budaya politik intervensionis dalam diri militer. 

Lebih lanjut lagi diakhir era demokrasi terpimpin dari soekarno, tentara Indonesia menyusun ide “dwifungsi ABRI”, satu ideologi yang melegitimasi peran politik dan sosial bersamaan dengan peran pertahanan dan keamanan dari militer. Dibawah rezim orde baru, militer menggunakan Dwifungsi ABRI sebagai dasar untuk mendominasi dunia sosial politik.

Berbeda dengan militer Indonesia, angkatan bersenjata Thailand tidak memiliki ideology khusus untuk melegitimasi keikutsertaanya dalam politik. Namun demikian, selama perang dingin berlangsung militer Thailand menggunakan kebijakan anti komunis yang mencirikan periode ini sebagai dasar ideologis untuk menjustifikasi keterlibatanya dalam politik. Sarana simbolis lainya yang seiring digunakan oleh militer adalah moto “ Bangsa,Agama, dan Monarki”, dibawah doktrin ini, kesetiaan terbesar dari militer Thailand adalah kepada bangsa,agama dan monarki. Karena kesetian terbesar mereka bukanlah kepada pemerintah tertentu, intervensi militer dalam politik dapat dibenarkan. 

Lebih lanjut lagi, sebagai hasil dari pengalaman sejarah mereka yang tidak pernah dijajah secara langsung oleh satu kekuatan barat, militer Thailand tidak pernah mengadopsi ide barat mengenai supermasi sipil, karena itu, menurut crouch, budaya dan ideologi militer di Thailand bukanlah suatu penghambat bagi intervensi militer.

Organisasi dan stuktur

Keterlibatan militer dalam politik akan mengambil tempat dan mempengaruhi satu stuktur organisasional tertentu dalam suatu masyarakat. Di Indonesia. Karena utamanya tentara adalah satu pasukan keamanan internal, tentara telah mengembangkan satu stuktur “territorial” yang stukturnya sejajar dengan stuktur pemerintahan sipil. 

Melalui stuktur territorial inilah, tentara dapat mempengaruhi dan mengontrol permasalahan politik sampai pada tingkat desa. Pengaruh tentara atas pemerintahan sipil sering sangat signifikan karena mantan komandan militer seringkali ditunjuk sebagai kepala pemerintahan sipil di lokasi yang sama. Lebih jauh lagi menurut Crouch unit-unit militer ini bertindak sebagai agen-agen local bagi aparat keamanan pusat kopkamtib(komando operasi pemulihan keamanan dan ketertiban) yang bertanggung jawab atas keamanan internal dan memiliki kekuasaan yang luas untuk mereka yang dianggap sebagai ancaman serius bagi keamanan. Kopkamtib dibantu oleh badan intelejen Negara bakin (badan koordinasi intelejen Negara), yang didominasi oleh para anggota militer.

Di Thailand, walaupun militer meningkatkan fungsi keamanan internalnya sebagai respon terhadap pemberontakan komunis dan islam di tahun 1970-an sampai 1980-an, militer tidak mengembangkan stuktur organisasional yang serupa dalam jangkauannya dengan stuktur “territorial” di Indonesia. Keamanan internal tetap menjadi tanggung jawab polisi sampai pertengahan tahun 1960-an, ketika penyebaran pemberontakan komunis menyebabkan militer mendirikan komando ini pada 1974 digantikan oleh komando operasi militer oleh komando operasi keamanan internal(ISOC). ISOC memberikan militer Thailand kapasitas yang lebih berkuasa dan terlembaga untuk mengontrol dan memobilisasi dukungan politik diwilayah perdesaan. Disamping ISOC, tentara juga mendapatkan pengaruh politik melalui kontrolnya atas dua saluran televise dan berbagai stasiun radio.

Dalam hal ukuran, kapasitas militer Thailand untuk mendominasi pemerintah lebih besar daripada militer Indonesia. Namun demikian, dalam hal stuktur organisasional militer Indonesia jauh lebih berkuasa dibandingkan militer Thailand.

Kesimpulan

Terjadinya perbedaan dalam proses perpolitikan militer antara Thailand dan Indonesia, apabila Keterlibatan militer dalam politik di Thailand dapat dibagi kedalam 6 periode. Periode pertama berlangsung dari tahun 1932-1944, yang dimulai dengan terjadinya kudeta pada 1932 dipimpinan oleh phibun songkram(anggota militer) dan pridi phanomyong(sipil). Periode ini oleh dicirikan oleh konstitusionalisme dan kemunculan pemerintahan militer. Periode kedua, yang berlangsung dari tahun 1947-1957 yang menandakan kembalinya oligarki militer, dipicu oleh kudeta yang dilakukan oleh pro-Phibun songkram dan diakhiri oleh kudeta pimpinan sarit thanarat pada tahun 1957. Periode ketiga , dari tahun 1957-1968, adalah era absolutisme militer yang dimulai setelah periode kudeta sarit dan diakhiri oleh diluncurkannya kudeta baru pada tahun 1968. Periode keempat, berlangsung dari tahun 1969-1973, adalah era otoritarianisme militer dan perjuangan untuk demokrasi. Jatuhnya klik thanom-phrapat dari tahun 1973-1992, dimulai dengan demonstrasi yang pimpinan oleh kaum muda pada tanggal 14 oktober 1973. Era ini adalah periode politik terbuka dan gerakan reformasi militer. Periode terakhir, dari tahun 1992 sampai sekarang,dimulai dengan bulan mei 1992, ketika percobaan kudeta pimpinan jendral Suchinda kraprayooon ditentang oleh protes missal yang dipimpin mahasiswa. 

Sedangkan keterlibatan militer di Indonesia dalam perpolitikan nasional mengambil jalur yang cukup berbeda. Politik militer dalam sejarah Indonesia dapat dibagi kedalam empat tahap. Tahap pertama dari tahun 1945-1959, dicirikan oleh satu transisi dari ‘aksi’ menjadi “akomodasi” tahap kedua, dari tahun 1959-1966, ditandai oleh pergeseran dari akomodasi menjadi dominasi, tahap ketiga dari tahun 1966-1998, militer membuat transisi dari dominasi menjadi hegemoni dan tahap terakhir, setelah kejatuhan soeharto di tahun 1998, hegemoni militer telah ambruk dan militer masuk kedalam krisis yang berkempanjangan. Selain faktor proses yang menjadi pembeda cerita politik militer di Thailand dan Indonesia juga terletak pada konsep Ideologi dan budaya militer.


Daftar Pustaka

Muhammad Najib Azca. Militer dan Transisi Demokrasi di Thailand dan Indonesia : Suatu analisa perbandingan . (BAB 11, Halaman 251-275).

Feith Herbert. Soekarno dan Militer Dalam Demokrasi Terpimpin. Pustaka Sinar Harapan : Jakarta.



0 comments:

Post a Comment

resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut